Dr. Umar bin Hasan bin Utsman Fallaatah dalam sebuah diskusi ringan dengan beberapa mahasiswanya di Universitas Taibah Madinah Nabawiyah di ruang kelas yang hanya berukuran 12×12 meter pernah menyebutkan tentang buku beliau yang berjudul al-Hadits al- Hasan Muthlaqan wa Muqayyadan ‘ida al-Imam at-Tirmidzi.
Salah satu pembahasan dalam kitab tersebut adalah tentang istilah hasan sahih yang sering digunakan Tirmidzi dalam kitabnya Al-Jaamik (as-Sunan). Para ulama setelahnya memiliki banyak penafsiran tentang makna hasan sahih tersebut.
Masih menurut Dr. Umar Fallaatah, bahwa ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah hadits tersebut hasan sanadnya dari satu jalur namun sahih dari jalur yang lain. Akan tetapi kesimpulan ini musykil, karena ada hadits yang dihukumi hasan sahih oleh Tirmidzi ternyata setelah diteliti semua sanadnya hanya sampai kepada derajat hasan dan tidak ada sanadnya yang sahih. Ada juga yang mengatakan istilah tersebut muncul karena penakwilan yang berbeda atau syak dari Imam Tirmidzi.
Kesimpulannya kata beliau, “Tirmidzi sendiri tidak pernah menjelaskan secara eksplisit apa maksud dari kalimat beliau hasan sahih, kelak jika kita bertemu beliau di surga in syaa Allah kita akan tanyakan langsung ke Imam Tirmidzi, “Wahai Abu Isa apa sebenarnya maksud anda dengan istilah hasan sahih tersebut?” Demikian beliau mengakhiri diskusinya.
1442 tahun yang lalu ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’, maka kemudian Sa’ad menawarkan bantuan hibah setengah hartanya kepada Abdurrahman. Tak disangka Abdurrahman menolak bantuan hibah tersebut. Orang sering sekali membahas kisah tersebut dari sisi pengorbanan dan ukhuwah dan hal tersebut benar adanya. Namun, tahukah anda ternyata ulama juga berusaha mengungkap apa sebenarnya alasan Abdurrahman bin Auf menolak bantuan hibah tersebut?
Ibnu Batthal memberi komentar terkait dialog antara Abdurrahman dan Sa’ad tersebut dengan memaparkan bahwa penghasilan dari perdagangan lebih afdal dari hidup bergantung dari sedekah dan hibah.
Ibnu Hajar menegaskan bahwa, ‘Hibah adalah sesuatu yang halal, namun para sahabat terdidik untuk menggapai hal yang afdal yaitu bekerja dengan tangan sendiri untuk mendapatkan penghasilan. Di sisi lain makruh hukumnya menerima hibah atau yang semisalnya jika dikhawatirkan dapat menjatuhkan harga diri dan kehormatan.”
Dari semua penjelasan ulama dan pensyarah hadits belum ditemukan alasan penolakan tersebut disampaikan langsung melalui lisan Abdurrahman bin Auf.
Kelak jika ada dari pembaca yang budiman dipertemukan Allah Ta’ala di surga-Nya dengan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu, siapkan satu pertanyaan. “Wahai Abu Muhammad mengapa anda menolak bantuan hibah dari Sa’ad bin Rabi’?”
Nabi Musa u pernah menyimpan sebuah tanya dan rasa ingin tahu di dalam hatinya yang paling dalam terhadap Nabi Adam u, mungkin terkesan mustahil mereka bertemu. Namun suatu ketika kedua nabi mulia tersebut pun dipertemukan Allah Ta’ala. Musa alaihissalam pun berkata,
أَنْتَ الَّذِي أَخْرَجْتَ النَّاسَ مِنْ الْجَنَّةِ بِذَنْبِكَ وَأَشْقَيْتَهُمْ
“Engkaulah orang yang telah melakukan dosa dan menyebabkan manusia keluar dari janah serta menjadikan mereka dalam penderitaan?” HR. Al-Bukhari (4738)
Nabi Adam alaihissalam pun kemudian memberi jawaban atas pertanyaan yang tersimpan lama dan belum terjawab tersebut.
Oleh: Fakhrizal Idris